Kamis, 10 November 2011

Sinta Ridwan-Generasi Muda yang Peduli dengan Sastra Aksara Sunda

S i n t a R i d w a n


Penampilannya  selalu  percaya   diri  dan  penuh   senyum.  Jika  Anda pertama kali melihatnya, mungkin  tak  akan menyangka,  jika   gadis berusia 26 tahun  ini  adalah  penyandang lupus, penyakit  yang   hingga kini belum ada  obatnya.
Sinta yang baru menamatkan kuliah S2 di jurusan  Filiologi Universitas Padjajaran ini   menganggap obat yang paling mujarap dari segala penyakit adalah rasa  bahagia.“ Jadi kalau kita sakit, jangan dirasakan kalau kita sakit, tetapi kita  harus berpikir sesuatu yang menyenangkan dan terus tersenyum walaupun kita  sedang sakit,” ucap Sinta.
Pengalaman Sinta dengan penyakit lupus yang telah dideritanya sejak  tahun 2005 lalu dia catatkan dalam sebuah buku otobiografi berbentuk  novel berjudul “Berteman  Dengan Kematian”.  Dalam buku itu Sinta menceritakan tentang perjuangan dirinya untuk berjuang  melawan lupus yang  bersemayam di dalam  tubuhnya.
Untuk mengisi hari-harinya wanita yang hobi membuat puisi ini berusaha  untuk memberikan manfaat bagi orang sekitarnya. Salah satu upaya Sinta untuk  memberikan arti hidupnya bagi orang lain dan bangsa ini adalah dengan cara  mengajarkan naskah kuno sesuai dengan latar belakangnya sebagai seorang Fiolog.
Dengan ilmu itu Sinta membuka kelas aksara kuno di Gedung  Indonesia Menggugat, di  Jalan Perintis  kemerdekaan Bandung. Kelas aksara kuno atau yang disingkat kelas Aksakun ini  pertama kali dibentuk pada tahun 2009 atas dasar gagasan dari seniman-seniman  beraliran  metal yang beralamat di Ujung Berung, Bandung.
Dari dorongan para seniman yang biasa memainkan musik cadas itulah kelas aksakun  berdiri dengan jumlah murid sebanyak 35 orang. Pengikut aksakun mengalami  pasang surut. Tercatat  dari awal beridiri hingga sekarang orang-orang yang pernah naskah kuno oleh  Sinta sekitar 200 orang.
Murid yang mengikuti kelas aksakun terdiri dari pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat  umum. Sinta mengaku tujuan dibentuknya kelas  aksakun ini adalah untuk menjaga dan melestarikan naskah-naskah kuno yang  merupakan warisan masa lalu.
“Tidak ada masa kini tanpa adanya masa lalu, dan itu semua  tertuang di dalam naskah kuno,” ungkapnya. Sinta membebaskan teman-temanya yang  mengikuti pelajaran naskah kuno itu untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat sesuai dengan keinginannya masing-masing.
Banyak dari murid Sinta yang membuat tulisan kuno  untuk dijadikan design dalam sebuah  kaos, dan poster-poster. Selain itu ada juga murid yang membuat lirik lagu yang mengadaptasi dari  naskah-naskah kuno.
Menurut Sinta di dalam naskah kuno itu terdapat  berbagai macam kandungan diantaranya gaya hidup, kesehatan, tuntutan manusia agar dapat  menghargai alam, dan sastra orang-orang masa laliu.
Kecintaan Sinta terhadap naskah kuno mengalahkan rasa  sakit akibat lupus. Sinta mengaku jika sedang tidak enak badan tidak  menyurutkan dia untuk absen tidak mengajar kelas aksara kuno, “karena dengan  mengajar saya menjadi bahagia dan itu bisa mengalihkan rasa sakit saya,”  akunya.
Selain itu Sinta di tengah keterbatasan fisiknya  akibat lupus itu bercita-cita ingin membangun sebuah museum digital yang akan  diberi nama ensiklopedia naskah kuno. Tujuan dari pembuatan museum digital itu  adalah untuk memudahkan orang-orang agar dapat mengakses naskah kuno dengan  mudah.
Sinta  beranggapan selama ini orang-orang jarang mempelajari ataupun membaca  naskah-naskah kuno itu karena sulitnya mengakses catatan-catatan orang-orang  dari masa lalu yang tersebebar di seluruh penjuru nusantara. Dengan hadirnya  museum digital itu akan memudahkan orang-orang untuk mempelajari sejarahnya  langsung dari sumber sejarah tanpa harus berusasah payah pergi ke museum.
Behind The Scenes
 
Saat diwawancarai oleh Kick Andy
 
 
 
 
Saat mengajar murid-muridnya. Tak hanya anak sekolah namun murid Sinta terdiri dari berbagai kalangan 
 
 
 
 
Sinta Ridwan saat membuka hadiah sebuah laptop untuk kemajuan sanggarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar