Selasa, 28 Agustus 2012

Sahabat? Cinta?

Tet tet teeettt! Bel istirahat pun berbunyi. Ibu guru berucap salam dan berjalan keluar dengan membawa buku yang dikempitnya. Disusul dengan murid yang berantrian satu per satu untuk keluar kelas. Suasana kelas menjadi sunyi, bagai tak berpenghuni. Namun di ujung pojok belakang kelas terlihat sosok gadis cantik yang menunduk diam. “Woy fan! Lagi ngapain kamu?” Ardi berusaha mengageti temannya bernama Fany. Namun apa taggapan fany? Dia terbangun sembari membalas senyuman kepada Ardi, dan tak lama kemudian dia kembali menunduk. “Duuuh, lagi patah hati ya kamu? Udah deh, ikhlasin aja.. jangan kamu tangisin soal cowok begituan, move on dong move on!” ledek si Ardi.  Fany hanya terdiam dan posisi duduknya pun tak berubah sama sekali.
Seusai pulang sekolah, Fany langsung mengurung diri dikamar rumahnya. Sesenggukan dia menangisi kisah cintanya yang kandas karena suatu hal. Dalam hati dia bertanya, “Aku butuh teman curhat , aku nggak sanggup nahan rasa sakit ini seorang diri”. Nama yang terlintas dibenak Fany Cuma satu, Ardi. Mereka cukup lama menjalin persahabatan. Sejak Ardi resmi menjadi tetangga baru Fany, ya kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saat mereka sama-sama masih TK. Tak jarang jika mereka berdua sangat akrab, bahkan terlihat seperti kakak adik.
Fany berusaha memencet tombol handphone untuk menghubungi Ardi. “Hallo.. ardi?” sapanya lirih. “Yoi, ada ardi disiniii.. adakah yang bisa Ardi bantu?” balasnya dengan heboh. “Di.. ada yang mau aku ceritain sama kamu, sekarang juga kamu datang ke rumah, bisa?” . “oh so pasti bisa Fan, sebentar lagi aku ada di jendela kamarmu yaa.. wait for a minute!” . “Makasih banyak ya Di.. buruan, aku tunggu yaa” ucapan terimakasih dari Fany sebagai ujung pembicaraan lewat handphone itu.
Tak lama kemudian sosok remaja pria berkaos biru dengan celana pendek jeans bersiul bising membuka pintu pagar rumah Fany. “Selamat Malam adik kecilku… kok udah diluar sih? Buru-buru pingin ketemu kakak ya? Hahaha” . “Huh, kebiasaan deh suka kumta tuh penyakit kalau malam-malam gini ya!”. Mereka berdua duduk di gazebo depan rumah. Dan Fany pun siap memulai cerita. “Gini nih Di, aku sebenernya nggak mau nyeritain apa yang aku rasa ini ke oranglain, tapi setelah aku pikir-pikir, aku nggak kuat kalau nahan seua ini sendiri, dan salah satu orang yang aku percaya buat dengerin cerita ini Cuma kamu..” ucap Fany dengan serius. “Jadi, kamu percayanya Cuma sama aku nih?” ledek Ardi lagi. “Ardiiiii…. Please, tolong banget, ini obrolan serius!” gertak Fany dengan wajah kecewa. “Eh eh kok malah cemberut sih Non? Bercanda aja ini.. sini cerita aja gih” dengan nada takut Ardi menjawab. “Nyebelin banget deh kamu, Di! Gini nih, kamu tau kan kalau aku abis putus sama Ryan? Nah nggak tau kenapa aku ngrasa kehilangan dia banget, aku bener-bener nggak nyangka kalau semua bakal jadi kayak gini.. aku masih sayang dia, aku belu bisa nglepas dia sepenuhnya, aku sayang Ryan, Diii..” air mata tiba-tiba menetes membasahi pipi merahnya. “Hmm.. aku cukup tau dengan kisah kalian, kalian memang sudah lulus mejadi pasangan romantic, kalian sudah lama juga menjalin hubungan, jangankan kamu Fan, aku sendiri aja kaget begitu denger kabar kalian putus, tapi ya mau gimana lagi kalau ini udah jadi keputusan Ryan, mungkin ini yang terbaik, sabar yaa.. kalau jodoh pasti bakal ketemu kok, udah jangan nagis..” sembari menyodorkan tisu kepada Fany, Irfan berusaha menenangkan hati sahabatnya. “Tapi susah Di, sekarang semuanya beda. Semua jadi sepi, aku ngrasa kehilangan banget..” rintih Fany. “Fan, didunia ini tu nggak Cuma ada kamu sama Ryan, didunia ini kamu punya banyak keluarga, teman, yang siap membuatmu tersenyum riang.. ayo dong jangan sedih terus, hidup terus berjalan adik.. Aku siap kok, buat ada disaat kamu sedih maupun senang, aku sahabatmu Fan..” semangat Ardi membantu Fany bangkit. “Iya Di aku ngerti.. Kamu beneran akan ada disaat aku sedih maupun senang?” balasny dengan senyum. “Pasti, aku berusaha untuk selalu ada buat kamu, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungin aku Fan.. dengan senang hati aku akan membantumu menjadi Fany yang periang lagi.” “Makasih banyak ya Di.. aku beruntung punya sahabat sepertimu.”
3 bulan setelah itu, suasana telah membaik. Keadaan Fany tak lagi terpuruk seperti kemarin, tak lagi menjadi orang yang suka menyendiri, apalagi menjadi orang yang hobi netesin air mata. Itu semua berkat Ardi. Kedekatan mereka semakin terlihat. Saat Ardi berkunjung main ke rumah Fany, yang kebetulan seisi rumah Fany sedang berada dirumah. Alhasil, Ardi mendapat ledekan dari anggota keluarga Fany, termasuk dari orangtua fany sendiri. “Kalian lengket sekali ya, kenapa nggak jadian aja? Toh kalian juga sudah lama saling kenal kan?” ucap Kakak Fany. “Kak Fian tu apaan sih, kita itu sahabatan kak..” jawab Fany dengan senyuman manisnya. “Halaah sahabat bisa jadi cinta kok, itu buktinya sama-sama senyum-senyum.. hayooo..” ledekan Kak Fian makin menjadi. Obrolan terpotong karena Ardi ditelfon mamanya disuruh pulang nemenin adiknya sendirian dirumah, orangtuanya pergi membesuk kerabatnya yang sakit.
Keesokan harinya ditaman sekolah. Dibangku bawah pohon buah kelengkeng itu mereka duduk berdua. Ardi memulai pembicaraan, “Fan, benar juga ya apa kata Kak Fian, kita udah lama kenal, udah lama dekat, mengerti satu sama lain, kenapa kita nggak jadian aja ya? Toh sebenarnya aku juga suka sama kamu..” “Hah? Apa Di? Aku nggak salah dengar?” seru Fany dengan nada terkejut. “Eh maaf Fan, aku salah ngomong ya? Aku Cuma bilang apa adanya aja sih.. aku suka sama kamu!” jawab Ardi dengan nada serius. “Di, emang kita tu udah kenal lama, kita udah saling mengenal, aku juga tau itu.. kita itu sahabatn Di.. Apa mungkin sih sahabat bisa jadi cinta?” “Mungkin aja lah Fan, toh kita juga kan yang menjalani.. Apa salahnya sih kita mencoba menjalin suatu hubungan yang lebih dari sahabat?” “Kalau boleh bilang jujur, sebenarnya aku juga punya rasa yang sama kayak kamu, aku suka kamu Di..” jawabnya dengan mimik wajah malu. “Serius? Kamu suka aku? Jadi kita punya rasa yang sama?” sambutnya girang. “Iya Di, iyaaa..” balasnya dengan senyum bahagia. “Kalau gitu, kamu mau nggak jadi pacar aku?” “Hmm.. gimana ya? Aku mau jadi pacar kamu, tapi ada satu syarat, kamu harus tetep jadi Ardi yang sekarang, dan jangan pernah berubah. Gimana?” “Siap Tuan Putri.. aku janji! Jadi, sekarang kita pacaran nih? Yeeee akhirnya aku bisa dapetin Tuan Putri, serunya kegirangan.
Kini mereka berdua telah menjadi pasangan serasi, pasangan yang konyol tapi asyik. Hari-hari Fany tak lagi menjadi sendu, semua berubah, tebaran senyum ceria tertoreh dari wajahnya. Sorot mata yang indah tak lagi berwarna gelap mengembang. Dan, ini semua berkat Ardi. Sahabat terbaik yang kini menjadi pacarnya.

Rintihan hawa berjuang~


Hai para jutawan!
Lihatlah apa yang mereka rasakan
Berbondong kaum hawa berjuang diri
Berkumpul mendaftarkan diri
Untuk pergi merantauke negeri orang
Demi sesuap nasi
Mereka rela dipukul ditempa
Mereka rela berkorban nyawa semata demi keluarga
Cucuran darah mengalir
Mereka pergi dengan isak tangis sanak saudara
Mereka kembali hanya tinggal nama
Mana perlindungan yang selalu dijanji-janjikan?
Dimana hati nurani para petinggi Negara?
Ribuan janji telah terucap
Sirna menepi tak ada bukti
Bukalah pintu hati kalian wahai para pejabat
Tutup rapat-rapat pikiran kalian yang mungkin tlah terbutakan
Pikirkan nasib rakyat!
Yang merintih meronta membutuhkan uluran tangan darimu

Apa ini rasaku?


Gemuruh suara angin menerpa
Keheningan malam yang kini menyelimutiku
Tertunduk seraya menjerit
Aku tak tau apa yang harus ku lakukan?
Melihat potret diri ini yang mudah rapuh
Sosok ku hanya terdiam
Apakah kau tak mengenali rasa ini?
Apakah rasa ini sia-sia?
Dengarlah sepenggal kalimatku
Ingin sesekali ku tujukkan kepadamu
Betapa tingginya suatu mimpi ini
Entah apa yang ingin kalian lontarkan
Bagiku keyakinan dan kesabaran
Kunci dari semuanya
Berlari berusaha kukejar
Namun diri ini cukup lunglai untuk meminta
Menjadi seorang pengemis yang tak berharga
Degan langkah ini aku ingin terus beranjak
Berpetualang mencari suatu sinar yang terang nan rupawan

Mimpi~


Setitik rona bahagia mulai terpancar
Pancaran itu dating tak mengenal waktu
Kadang ia memancar terang
Namun tak jarang pula ia meredup hilang
Apakah arti semua ini?
Ku tak tau harus bagaimana
Menentukan langkah untuk menggapai pancaran itu
Tak ingin ku berharap lebih
Tak ingin anganini hanya menjadi mimpi
Mimpi yang terus hilang melayang
Harapku akan pancaran kebahagiaan itu
Terus mengalir dalam benakku
Namun apa daya?
Ku tak ingin bermimpi tinggi dan akhirnya terjatuh
Biarkan semua ini seperti ini
Berjalan sesuai adanya

Hirau menyapa~


Surya tak lagi bersinar terang
Rimbunan pohon hening terdiam
Terlihat sesosok gadis mungil
Menjerit menangis diujung jalan
Kusam nian wajahnya
Dengan baju robek tak beraturan
Ia menunduk merintih
Mengikuti alunan riuh hiruk pikuk jalanan
Sesaat berjajar deretan mobil mewah mengkilap
Beranjak ia menghampiri
Satu per satu ,kaca demi kaca
Dengan sangat kompak berseragam
Semua kaca mobil yang terhampiri tak kunjung terbuka
Sapaan tangan dari arah pengemudi memberi isyarat
Dengan mengeluarkan suara pun mereka enggan
Menyodorkan tangan seraya mengusir
Apa mereka merasa hebat?
Tak peduli akan rintihan perih mereka
Yang membutuhkan sodoran tangan yang wangi akan keikhlasan
Bukanlah sodoran tangan berkecimbuk usiran belaka!